Senin, 10 Oktober 2011

Toilet Training Untuk Si Kecil


                Bagi sebagian orang tua, toilet training bisa menjadi hal paling susah diterapkan pada buah hatinya. Bagaimana tidak, dari bayi si anak sudah terbiasa buang air kecil (pipis) dan buang air besar (pup) begitu saja di mana saja dan kapan saja. Paling hanya menangis untuk menandakan ketidaknyamanannya.
Celana VS Diapers
                Untuk orang tua  konvensional, hal tersebut (ngompol) akan dinikmati dengan sabar. Sebentar-sebentar ganti popok/celana, tidur malam pun tidak nyenyak lagi karena harus bolak-balik mengganti celana si baby. Kelebihannya, si anak akan terhindar dari iritasi akibat diapers, lebih hemat karena tidak mengeluarkan biaya ekstra untuk diapers. Dan pada saatnya, orang tua lebih mudah menerapkan toilet training.
Namun lain halnya dengan orang tua modern. Mereka memilih menggunakan diapers pada si buah hati agar terbebas dari gangguan ngompol, membersihkan, menggantikan celana, dan bangun tengah malam. Risikonya, bila si anak terlalu sering mengenakan diapers adalah terkena iritasi di bagian lipatan dan pantat, dan membutuhkan biaya ekstra untuk membeli diapers. Selain itu si anak tidak mengenal rasanya basah sehingga saat akan melepas diapers membutuhkan waktu dan perhatian khusus.
Kapan Harus Toilet Training?
                Pada dasarnya, anak mulai bisa diajari untuk buang air kecil atau buang air besar pada tempatnya pada usia dan kriteria tertentu. Coba perhatikan, anak pasti punya kebiasaan-kebiasaan yang rutin setiap harinya, misalnya setiap kali habis minum susu akan pipis. Jika masih bayi, siapkan saja alas/perlak agar si bayi tidak ngompol di baju, misalnya. Atau setiap bangun tidur di pagi hari biasanya pup, maka siapkan alas agar pup tidak ke mana-mana.
                Namun untuk benar-benar mengajari anak  untuk buang air kecil/besar pada tempatnya (di kamar mandi/toilet) setidaknya perlu beberapa criteria seperti :
  • ·         Anak sudah bisa duduk sehingga bisa didudukkan di closet atau potty training (sejenis closet berukuran kecil yang bisa dipindah/dibawa). Caranya, lihat dan ikuti kebiasaan anak. Misalnya jika sudah ada tanda-tanda mengejan, maka segera dudukkan di potty.
  • ·         Anak sudah bisa mengucapkan kata sehingga tahu kapan ia ingin buang air kecil/besar. Caranya, komunikasilah dengan anak. “Nak, nanti kalau ingin pipis bilang mama ya, pipisnya di kamar mandi,”
  • ·         Anak sudah mencapai usia tertentu yang dianggap bisa untuk mandiri. Ditandai dengan usia lepas dari ASI, maka usia 2 tahun, anak sudah harus toilet training. Caranya bisa dengan “menatur” anak. Setiap 2-3 jam (sesuaikan dengan kebiasaan anak), ajak anak untuk pipis di kamar mandi. Ajari caranya dan bagaimana membersihkannya.
  • ·         Anak sudah sekolah, biasanya 2-3 tahun. Pada fase ini, mau tidak mau si anak harus dilatih buang air kecil/besar di tempatnya. Selain pihak sekolah biasanya juga menerapkan toilet training, anak yang masih ngompol bisa menjadi bahan ejekan teman-temannya. Masih mengenakan diapers bukan pilihan bijak buat si anak yang sudah sekolah. Anak cenderung semakin malas untuk berlatih dari awal.
Toilet training tidak akan berhasil dalam sekali latihan, tetap ada prosesnya. Kadang anak ngambek nggak mau pipis, kadang bandel dengan sengaja ngompol, dan berbagai ulah lucu mereka. Jadi para orang tua diharapkan sabar dan telaten mengajari sang buah hati. Berikan reward and punishment seperti “Kalau hari ini adik nggak ngompol nanti mama buatkan pudding kesukaan adik.” Atau “Nanti kalau kakak nggak mau pipis di kamar mandi, mama nggak bacain buku cerita loh,”. Go Mommy go..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar